Fiksi

Belum Ada Setengah Jalan

“TEEEEEEEEEET… TEEEEEEEEEEETT…….TEEEEEEEETT”

Kegiatan hari itu sudah selesai. Para siswa-siswi kelas 3 dengan senang membereskan tas dan alat-alat ujian lainnya. Ya, mereka baru saja selesai melaksanakan salah satu tahapan dalam menuju akhir masa SMA, yaitu Pemantapan Provinsi. Cuaca yang terik siang itu memaksa mereka untuk bersantai dan bersenda gurau lebih lama di sekolah. Begitu juga Ian, salah satu siswa di SMA tersebut. Ia lebih memilih untuk duduk-duduk di depan kelas sambil menikmati angin semilir yang panas dengan teman-temannya.

Setelah menunggu agak  lama, beberapa siswa sudah pulang ke rumahnya masing-masing.Namun tidak untuk Alfi dan teman-teman kelasnya. Mereka masih saja asik bercanda, saling melempar ejekan, saling membully satu sama lain dan berbagai kegiatan khas anak SMA lainnya. Kelakuan mereka persis seperti para host-host acara di TV swasta yang terkenal saat ini.

Tiba-tiba Alfi merasakan hapenya bergetar. Alfi yang sedang terlibat di dalam arena baku ejek dan bully-an buru-buru merogoh saku sebelah kanan celana SMA nya sambil meminta time out untuk menepi dari arena. Rupanya ada chat masuk dari seseorang.

“Aku mau ke Warung Eskrim nih sama Dini, mau ikut? Kalo mau ikut kasitau yaa.”

Alfi yang masih capek akibat baku ejek-ejekan tiba-tiba sumringah mengetahui chat tersebut dari Elizabeth, adik kelas yang sedang digebetnya 2 minggu terakhir. Mereka berkenalan melalui Dini, teman seangkatan Alfi, memakai Lain, aplikasi chat yang sedang booming dikalangan remaja. Walaupun satu sekolah, Elizabeth dan Alfi belum pernah ketemu. Masa-masa pra dan pasca pemantapan membuat jadwal sekolah untuk anak kelas 3, kelas 2 dan kelas 1 menjadi berbeda. Ini memaksa mereka untuk tetap berkomunikasi melalui Lain.

“Okeeee, tunggu bentar lagi aku pulang,” bales Alfi tanpa pikir panjang.

Sampai di rumah, Alfi langsung berganti pakaian dengan wajah sumringahnya.

“Mau kemana lu? Girang amat,” tanya Rendy, kakak Alfi yang sedang di rumah menikmati liburan semester sambil telponan dengan pacarnya di pulau seberang.

“Gua diajak ke Warung Eskrim sama Elizabeth nih hahaha,” jawab Alfi.

“Wuidih, lancar nihhh.. Ya udah hati-hati.”

“Yoihhh,” kata Alfi enteng.

Elizabeth pun datang bersama Dini naik mobil. Tanpa babibu Alfi langsung membuka pintu mobil untuk masuk, bahkan sebelum kunci pintu mobilnya dibuka oleh Elizabeth.

“Mampir ke ATM Mandi Berdiri bentar yaaaa,” ujar Alfi yang menyadari dompetnya tidak ada tanda-tanda kehidupan yang layak.

Dijalan, Alfi lebih banyak diam dan mendengarkan obrolan antara Dini dan Elizabeth yang begitu seru dan nyambung terus tanpa henti. Seperti saudara yang terpisah sejak lahir dan akhirnya dipertemukan oleh nasib.

“Kamu kok cantik banget sih, Beth? Ohiya kemarin aku mimpiin kamu lohh, 7 jam nonstop,” Ucap Alfi yang hanya bisa dilakukan didalam hati.

Keadaan makin canggung karena Dini seakan tidak memberikan kesempatan Alfi untuk mengobrol, sebaliknya Alfi juga tidak tau mau membicarakan apa dan harus bagaimana.

Di Warung Eskrim pun, keadaan tetap tidak berubah. Suasana canggung masih terus menyelimuti Alfi dan Elizabeth, seakan-akan ada sekat “awkwardness” diantara mereka. Alfi yang berusaha untuk mengucapkan 1-2 kalimat yang menarik dan mencairkan suasana, merasakan lidahnya semakin kaku. Obrolan-obrolan yang di skenariokan didalam otaknya tidak ada yang menjadi nyata.

“Jadi kapan nih mau nonton Biji 88?” tanya Dini memecah keheningan sambil berusaha memberikan Alfi kesempatan.

“Kapan ya, hmm terserah aja deh,” Alfi yang seperti kehabisan kata-kata cuma bisa menjawab seadanya.

Bahkan untuk menjawab pertanyaan yang berpotensi merubah suasana menjadi lebih baik saja lidahnya sudah tidak sanggup. Payah betul.

Karena hari yang sudah sore, ditambah keheningan yang semakin membuat tidak nyaman, mereka memutuskan pergi ke kasir untuk menodong mbak-mbaknya membayar. Diperjalanan pulang, Dini dan Elizabeth kembali ngobrol seperti saudara yang baru dipertemukan nasib. Meninggalkan Alfi seorang diri di pojokan mobil yang sedang main Flappy Bird karena frustasi.

Setelah mengucapkan terima kasih, Alfi bergegas masuk ke rumah sambil berjalan linglung dengan pikiran yang kacau dan tatapan mata yang kosong. Ia langsung menuju ke kamarnya, dan merebahkan diri.

“Elu bego……”

“BEGO banget…….”

Dua kalimat yang terus menerus terngiang dipikirannya yang sedang dilanda kekacauan. Tanpa sadar Alfi mulai menutup matanya dan mendengkur.

*****

“Ddrrtttt….. Ddrrrrttttt……” Getar hape membangunkan Alfi yang sedang terlelap. Sambil mengelap iler yang menetes, Alfi membaca chat yang masuk.

“Kamu ngapain sih tadi???”
“Sadar enggak itu first impression, kesan pertamaaaa”
“Ngapain diem-dieman gituuuu. Aduh aku gatau deh harus bilang apalagi ke Elizabeth. Dia kecewa tauu.”

Beberapa menit termenung membaca chat dari Dini yang membabi buta tersebut, akhirnya Alfi membalasnya dengan tatapan yang kosong dan pikiran yang tak menentu.

“Aku gatau, aku gatau harus ngapain tadi. Tiba-tiba aja lidahku kaku. Kamu sendiri juga tau kan gimana pendiemnya aku. Ya udahlah. Gak ada yang bisa merbaikin kesalahan yg aku bikin sendiri. Intinya aku udah bikin kesalahan yg fatal. Udah…” Alfi menjelaskan.

“Jadi gimana? Selesai nih?” tanya Dini.

“Mau gimana lagi……”

Alfi yang depresi mencoba memutar lagu untuk menenangkan hatinya yang hampir meledak. Dipilihnya satu lagu yang menurutnya cocok dengan keadaan dan suasana saat itu.

Djamrud – Pelangi Dimatamu

30 menit, kita disini, tanpa suara
dan aku resah, harus menunggu lama, kata darimu…

Mungkin butuh kursus, merangkai kata, untuk bicara
dan aku benci, harus jujur padamu, tentang semua ini

Jam dinding pun tertawa, kar’na ku hanya diam, dan membisu
Ingin kumaki, diriku sendiri, yang tak berkutik di depanmu

Ada yang lain, di senyummu,
yang membuat lidahku, gugup tak bergerak
Ada pelangi, di bola matamu,
dan memaksa diri, ‘tuk bilang…
aku sayang padamu
aku sayang padamu

Mungkin Sabtu nanti, ku ungkap semua, isi di hati
dan aku benci, harus jujur padamu, tentang semua ini

Ada yang lain, di senyummu,
yang membuat lidahku, gugup tak bergerak
Ada pelangi, di bola matamu,
seakan memaksa, dan terus memaksa
ada pelangi….

Ia salah memilih lagu. Semakin lama Alfi mendengarkan lagu itu, semakin ia larut dalam kegalauan yang jauh lebih hebat lagi. Tak lama kemudian, karena tak kuasa menanggung rasa malu, kecewa, kebodohan dan kegaluan yang luar biasa, akhirnya ia memutuskan untuk menyeduh segelas obat nyamuk bakar tumbuk dengan kapur barus sebagai minuman hangat untuk mengakhiri kegalauan, hidup, dan kisah cintanya… yang belum ada setengah jalan.

Dasar remaja labil…..

=================

Sebenernya ini bukan fiksi. Tapi yah anggap saja begitu =))

23 thoughts on “Belum Ada Setengah Jalan”

  1. Curheeeeeiiitz.. Bahahah.. 😀
    Tapi emang gitu sik cowok, kebanyakan kalo depan cewek yang ditaksir, mau sebawel apapun, ngga akan bisa ngomong. Lidahnya kelu gitu. Kalo cewek ya malu-malu meong gituuu *pengalaman*

  2. Nice story. Tapi sih, kalimat2 pendahulunya agak klise. Sering banget digunakan. Hehehe. Maaf lho yah. Tapi ide ceritanya lumayan. Plus, gue suka pas bagian lu nyamarin beberapa merek. =D

Leave a reply to bhasyr Cancel reply